Saturday 3 December 2016

Ahdafut Tarbiyah Fid Da’wah (Tujuan Tarbiyah dalam Dakwah)

Bila kita menengok sirah nabawiyah kita akan mendapati sebuah episode bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tarbiyah (pembinaan) kepada para pengikutnya—para sahabat assabiqunal awwalun—di rumah Arqom bin Abi Arqam.

Ibnu Abdil Bar berkata: “ Di rumah Arqom bin Abi Arqom inilah Rasulullah berdakwah secara sembunyi –sembunyi menghindari gangguan orang-orang Quraisy, sampai Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada mereka untuk berdakwah secara terang-terangan, dan ini terjadi pada awal penyebaran Islam, sehingga banyak dari manusia yang beriman dengan dakwah yang beliau lakukan di rumah tersebut. Rumah Arqom bin Arqom berada di Makkah yang tepatnya di atas bukit Shafa.”[1]

Bahkan tarbiyah qur’aniyah tersebut dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam secara berkelanjutan. Hal ini tergambar dari atsar berikut ini.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : كُنَّا نَتَعَلَّمُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ آيَاتٍ فَمَا نَعْلَمُ الْعَشْرَ الَّتِي بَعْدَهُنَّ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَا أُنْزِلَ فِي هَذِهِ الْعَشْرِ مِنْ الْعَمَلِ

Riwayat dari Abdul Rahman As-Sulamiy dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami dulu belajar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, kami tidak mengetahui 10 ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa yang diturunkan dalam 10 ayat ini.”
(Ath-Thohawi w. 321H/ 933M, Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478).

Gerakan dakwah kontemporer hendaknya mengambil faidah dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat tersebut: tarbiyah berkelanjutan! Tarbiyah dalam dakwah memiliki tujuan sebagai berikut:.


Pertama, menanamkan gambaran Islam secara jelas
(at-tashowwurul islami al-wadhih).

Yakni gambaran Islam yang menyeluruh (asy-syamil) dan benar (as-shahih). Terlebih lagi di saat buhul buhul Islam mulai terlepas seperti kondisi saat ini.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kondisi memprihatinkan ini dengan sabdanya,

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا: الحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ: الصَّلاَةُ

“Benar-benar buhul-buhul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali terlepas satu buhul, manusia berpegang kepada buhul lainnya yang masih tersisa. Buhul yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang terakhir lepas adalah sholat.”
(H.R. Ahmad)

Melalui tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan kepada para kadernya secara khusus dan kepada seluruh umat secara umum, bahwa tidak ada pemisahan antara menegakkan hukum syariat (politik) dengan menegakkan shalat (ibadah ritual).

Melalui tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan bahwa Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan.

Ustadz Hasan Al-Banna menjelaskan hal ini dengan kalimat ringkas: “Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, material dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”

Jadi, melalui tarbiyah gerakan dakwah bertujuan menanamkan pemahaman bahwa Islam adalah way of life, pedoman hidup, atau minhajul hayah.


Kedua, membangun interaksi (at-tafa’ul).

Yakni interaksi internal (ad-dakhiliy) dan interaksi eksternal (al-kharijiy). Tarbiyah diharapkan dapat membuahkan interaksi (pengaruh) internal. Dengan tarbiyah akan tertanam keyakinan (al-i’tiqad) yang menjadi dasar (al-asas) tindakan; dengan tarbiyah pemikiran (al-fikr) akan terwarnai dengan persepsi/gagasan (fikrah) yang lurus; dengan tarbiyah perasaan (asy-syu’ur) akan terarahkan selera (ad-dzauq) nya kepada selera Islam. Jadi, melalui interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader dakwah yang memiliki tekad yang kuat (al-azmu).

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (Q.S. Al-Ahqaf: 35)

Melalui tarbiyah diharapkan akan muncul rijal yang tabah dan sabar; tsabat (kokoh) dan hazm (teguh).[2] Tarbiyah diharapkan pula membuahkan interaksi (pengaruh) eksternal. Dengan tarbiyah, karakter (simat) yang ada pada diri akan terbentuk menjadi sikap (al-mauqif) yang terpuji; perilaku (as-suluk) nya akan terarah menjadi perbuatan (al-amal) yang mulia. Jadi, melalui interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader dakwah yang berkepribadian Islam (as-syakhshiyah al-islamiyah).
.
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ

“Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.”
(Q.S. Al-Baqarah: 138)

Dengan interaksi tarbiyah seorang kader dakwah akan tercelup dirinya dengan celupan ajaran Islam.


Ketiga, menggulirkan pergerakan (al-harakah).

Melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah dapat melakukan upaya peningkatan (at-tarqiyah) penguasaan teoritis (an-nadzariyah) dan pengendalian mental (al-ma’nawiyah) sehingga mampu meningkatkan kapasitas diri (raf’ul mustawa). Melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan mampu melakukan mobilitas (at-tausi’ah) dakwah. Melalui kader-kader yang tertarbiyah itulah gerakan dakwah akan mapu melakukan maneuver (al-munawaroh), pengkaderan (bina-ur rijal), dan penataan struktur (at-tandzimiyah).

Jadi, melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan leluasa melakukan pengendalian dakwah (saitharatud dakwah). Dengan tarbiyah, pergerakan dakwah akan berjalan lebih produktif (muntijah).

Apa jadinya jika gerakan dakwah tidak memiliki kader yang terbina atau tidak memiliki generasi penerus perjuangan? Ketahuilah, gerakan dakwah sangat berhajat terhadap eksisnya SDM yang berkualitas.

Suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada orang ramai yang ada di sekitarnya, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Sebahagian dari mereka menyahut, “Aku berharap kalau saja rumah ini penuh dengan emas, niscaya aku akan menginfakkannya di jalan Allah.” Umar kemudian mengulangi perkataannya, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Seseorang berkata, “Aku berangan-angan seandainya rumah ini dipenuhi dengan permata, intan dan mutiara, maka aku akan menginfakkannya di jalan Allah dan aku akan bersedekah dengan harta itu.” Setelah itu, Umar berkata lagi, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Mereka menjawab, “Kami tidak tahu apa lagi yang dapat kami ungkapkan, wahai Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Aku berangan-angan rumah ini dipenuhi dengan orang seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim hamba Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah bin Yaman.” [3]


Keempat, membekali pengalaman (at-tajribah).

Dengan tarbiyah para kader dakwah diarahkan untuk melakukan berbagai pelaksanaan amal (at-tathbiqiyah). Dengan begitu mereka akan merasakan secara langsung berbagai macam problematika pelaksanaan amal (al-qadhaya at-tathbiqiyah). Berbagai macam praktek di lapangan tersebut kemudian akan akan melahirkan kekuatan pengalaman (quwwatul khibrah).

Gerakan dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan melakukan penguasaan masyarakat, jika kader-kadernya tidak diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat; gerakan dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan pengelolaan proyek-proyek amal—pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll—jika kader-kadernya tidak diterjunkan dalam proyek-proyek amal tersebut.


Kelima, menumbuhkan tanggung jawab (al-mas’uliyah).

Dengan tarbiyah yang berkelanjutan, seseorang akan menyadari tuntutan syar’i (as-syar’iyyah) berdasarkan pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam (fiqhul ahkam), bahwa ia harus berkontribusi terhadap perjuangan dakwah. Ia pun menyadari bahwa hal itu harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Tarbiyah juga akan menanamkan kesadaran tanggung jawab struktural (at-tandzimiyah) berdasarkan pemahaman dakwah (fiqhud da’wah) yang dimilikinya, bahwa ia harus bekerja bersama organisasi dakwah (al-jama’ah) dalam setiap tuntutan tahapan dakwah (fi ihtiyajatil marhalah).

Keenam, mengembangkan kemampuan (al-kafa’ah).

Dengan tarbiyah, kemampuan SDM dalam struktur dakwah (fit tandzim) akan tumbuh berkembang. Baik berupa al-kafa’ah ad-da’wah (kemampuan berdakwah), al-kafa’ah al-ilmiyah (kemampuan ilmiyah), atau al-kafa’ah al-faniyyah (kemampuan keterampilan/skill).

Wallahu a’lam…

*******************
Footnote:

[1] Dikutip dari: Arqam Bin Abi Arqam,Seorang Shahabat Yang Istimewa, http://www.al-sofwah.or.id [2] Lihat pengertian ulul azmi dalam Zubdatut Tafsir, hal. 506 (Darun Nafais Yordania); Tafsir Jalalain, hal. 506 (Darut Taqwa Kairo), dan Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid IX, hal. 299 (Lentera Abadi Jakarta) [3] Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, hal. 542, oleh Mahmud al-Mashri.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...